Ranto Peureulak Menangis

Ranto Peureulak Menangis


Aceh Jaya, Kami 05:45am. Teman ku menghidupkan televisi. Suaranya besar terdengar hingga ke dalam kamar yang baru saja aku masuki. berniat untuk tidur kembali. 07:30am, aku seakan bermimpi, dalam mimpi ku, aku sedang berada di lokasi kebakaran.

Rabu, 25 April, terjadi kebakaran dahsyat di kampung halaman ku, Ranto Peureulak Aceh Timur. Tak lama, alu tersadar dengan beria tentang peristiwa ini. Mataku langsung terbelalak. Meski aku mencoba untuk tak mendengarkan,  namun suaranya begitu jelas terdengar. Aku tak mampu bergerak. Hanya mendengar dengan seksama. "Korban meninggal dunia kini menjadi 19 orang dan puluhan lainnya masih dalam perawatan akibat luka bakar. Jelas terdengar suara reporter tersebut.
Ini memang bukan kali pertama kebakaran ini terjadi. Di desa Kampung Tempel, kecamatan Ranto Peureulak dulu pun pernah terjadi kebakaran akibat minyak tersebut. Di desa Mata Ie, pun pernah jatuh korban akibat amukan si jago merah. Tapi ini yang terdahsyat.

Hampir 4 tahun sudah masyarakat di daerah sana beralih profesi menjadi penambang emas hitam. Sebab hasil yang di dapat sangat menjanjikan. Namun penuh resiko.

Bermodalkan reg, pipa, kompresor dan drum besi mereka melubangi tanah-tanah yang dipercaya terdapat minyak. Cara kerjanya sama seperti pengeboran sumur air. Namun kebakaran adalah salah satu bencana yang selalu mengintai.

Kemarin, ketika aku mendapat kabar dari temanku mengenai bencana ini, aku langsung terfikir kepada ayahku. Ayah ku kini pun beubah profesi menjadi penambng minyak. Dengan jantung berdebar kencang, aku menelfon rumah. Menunggu dering telfon diangkat, aku menelan ludah.

"Hallo ma, d sana  kebakaran ya? Ayah enggak apa-apa kan?. Aku betanya spontan dan buru-buru.

Enggak apa-apa, ni ayah di samping, bukan di sumur ayah, tapi di pasir putih". Jawab mamaku dibalik telfon.

Ah, jantung ku baru bisa berdetak normal. Aku syok. Mendengar banyaknya korban dan betapa dahsyat nya amukan si jago merah kali ini. Mungkin Allah murka, mungkin ini cobaan.

Hampir 50 orang menjadi korban jilatan si merah. Semua temanku memberikan kabar di grup What'sApp. Apa saja yang terjadi. Korban yang berjatuhan rata-rata orang yang aku kenal. Sebab, alu sering bermain di kampung mereka.

Terbayang dalam benakku, "Desa itu tengah berduka". Hampir keseluruhan warga yang sanak saudaranya menjadi korban.

Beberapa lagi sibuk mengungsi. Sebab api tak jua bisa dijinakkan. Hingga hari ini. Kobaran api masuk menjulang tinggi ke langit.

Gambar-gambar yang masuk ke galeri ku adalah foto-foto para korban. Tak lagi berwujud. Hanya hitam legam terbakar. Oh Allah, semoga mereka mendapatkan pahala syahid darimu.

Seorang laki-laki, temanku. Meski bukan teman dekat, setidaknya aku pernah berbicara dengannya. Umurnya 29 tahun, aku biasa memanggilnya abang putra. Pun menjadi korban dalam peristiwa ini.

Salah satu surat kabar Aceh memberitakan tentang wasiat terakhir yangia sampaikan kepada temannya di perjalanan menuju rumah sakit."Fuad, tolong jaga mamak ku". Kata terakhir yang diucapkannya. Berita itu membuat ku sedih. Sedih bukan main.

Sedih mengingat keluarga yang ditinggalkan. Apalagi dia sebagai tulang punggung keluarga.

Satu lagi, ayah dari temanku yang lain juga ikut menjadi korban. Sayangnya, ia mendapatkan luka bakar akibat menolong korban lain. Nahas, ajapun ikut menjemput nya. Padahal, baru beberapa bulan yang lalu anak sulungnya berpulang ke ramatullah. Aku tak mampu membayangkan bagaimana sedihnya keluarga yang ditinggalkan. Namun takdir Allah tak bisa kita pungkiri.

Di sini, aku hanya bisa berdoa. Membayangkan kejadian di  sana yang tengah menangis. Aku teringin pulang, melihat keadaan yang terjadi. Melihat bagaimana keluarga ku. Keluarga teman-teman ku. Barangkali ada satu dua hal yang bisa aku lakukan. Namun aku hanya bisa diam dalam doa.

Mungkin kita sudah lalai, mungkin Allah mau menegur kita. Seyogyanya, semua memang milik Alla SWT.